Kenapa aliran Syiah kok "tidak laku" di Indonesia?
Kenapa aliran Syiah kok "tidak laku" di Indonesia?

Beberapa tahun lalu, di layar televisi kita menyaksikan sosok lelaki tua berjanggut putih. Dialah Ayatullah Khomeini asal Iran yang kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun mukim di Paris, Prancis.Sebelumnya, pada 3 Desember 1978, UUD Republik Islam Iran diresmikan.Pada 14 Januari 1979, Shah Iran membentuk Dewan Kerajaan. Namun Imam Khomeini yang saat itu tengah berada dalam pengasingannya di Paris, mengumumkan pemerintahan baru revolusioner akan segera dibentuk. Maka bubarlah Dewan Kerajaan tersebut. Shah Iran Pahlevi yang menjadi boneka Amerika Serikat akhirnya turun tahta. Sistem despotik pun tergulung tanpa sisa. Kemudian pada 1980 terjadi perang perbatasan antara Iran dan Irak yang didukung oleh AS.Di layar kaca pula kita bisa menyaksikan surban kepala yang dikenakan para pemuka agama Islam aliran Syi'ah – sekilas mirip 'ubel-ubel' yang dikenakan Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol. Kini ramai dibincangkan nama kelompok Hizbullah di Lebanon dan Ahmadinejad. Mereka semua adalah dari aliran Syi'ah. Nah, dari berbagai berita yang menyorot konflik di Timur Tengah itu paling tidak kita jadi tahu perbedaan antara kaum Syi'ah dan Sunni. Kini yang menjadi pertanyaan, kenapa aliran Syiah (Shia) kok "tidak laku"di Indonesia? Apa sebabnya? Kenapa yang akhirnya berkembang luas hanya Islam aliran Sunah (Sunni) saja? Kok bisa begitu? Bagaimana sejarahnya? Jawabanya: Aliran Syi'ah yang sebenarnya pertama kali masuk ke wilayah Nusantara ternyata kalah bersaing dengan aliran-aliran lainnya. Islam dalam sejarahnya di Indonesia, antara satu aliran dengan aliran lainnya saling bersaing secara tak sehat untuk menjadi yang paling benar ajarannya dan paling dominan kekuasaannya. Untuk menekan kelompok lainnya dihalalkan dengan melalui jalan kekerasan, teror, dengan dengan saling bunuh-bunuhan.Tak heran kalau muncul tudingan dari satu aliran ke aliran lain: kelompok ini "sudah islam tapi kurang islami", kelompok itu sesat, kelompok anu harus mengganti nama - jangan bawa panji-panji Islam (seperti baru saja dialami Ahmadiyah) – dan lain sebagainya. Atas nama aliran yang mereka percayai, mereka boleh berbuat apa saja, tak peduli bahwa langkah itu justru merugikan citra Islam secara keseluruhan.
Islam diperkirakan mulai merembes ke wilayah Asia Tenggara mulai abadke-12, namun hanya terbatas di beberapa wilayah tertentu saja. Hindu dan Budha kala itu masih kuat. Aliran yang mulai punya pengikut adalah aliran Syiah, Syafi'I dan Hanafi. Aliran agama Islam berdasarkan fiqh itu biasa disebut dengan istilah madzhab.

Syi'ah vs Syafi'i di Aceh
Aliran Syi'ah - artinya "partai" atau "golongan" - dibawa oleh para pendakwah yang mengikuti perjalanan saudagar Gujarat,
Persi, dan Arab. Kala itu aliran Syi'ah memang berkembang di Persia dan Hindustan. Pertama kali memasuki Perlak dan
Samudera Pasai (kini Aceh) atas dukungan penuh dari dinasti Fathimiah di Mesir. Tentara dari dinasti itu juga ikut mengawal
kapal-kapal dagang. Semenjak dinasti Fatimiah rontok pada 1268, terputuslah hubungan antara kaum Syi'ah di pantai timur
Sumatra dan kaum Syi'ah di Mesir.
Pada 1284, timbullah dinasti baru di Mesir berjuluk Mamaluk yang beraliran Syafi'i.Dinasti Mamaluk mengirimkan pasukan yang dipimpin Syaikh Ismail ke pantai timur Sumatra untuk memusnahkan aliran Syi'ah setempat. Target utamanya adalah untuk melenyapkan pengikut Syi'ah di kesultanan Perlak dan Pasai. Syaikh Ismail berhasil membujuk Marah Silu yang Syi'ah untuk menyeberang ke aliran Syafi'i. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya, ikut memeluk aliran Syafi'i. Mereka lalu berganti nama menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. tahun 767. Syafi'i mengajarkan alirannya di Baghdad, kemudian di Mesir.Dinasti Mamaluk menobatkan Marah Silu menjadi sultan pertama kesultanan Samudera dengan gelar Malikul Saleh. Selama sultan berkuasa, pengikut Syi'ah ditindas. Atas dukungan armada Syaikh Ismail, Marah Silu berhasil menggempur dan menguasai kesultanan Pasai. Sepeninggal sultan Malikul Saleh, pada 1295 aliran Syi'ah mendapat angin baru di kesultanan Aru/Barumun, yang dipimpin oleh Malikul Mansur, putra Malikul Saleh.Catatan: Marah Silu sebelumnya penganut Hindu. Lalu diislamkan oleh Syi'ah,kemudian berhasil dibujuk oleh Dinasti Mamaluk untuk mengikuti aliran Syafi'i.
Di antara para penganjur aliran Syi'ah yang utama di pantai timur Sumatra ialah darwis dan penyair Hamzah Fansuri dari
Baros dan ahli sufi Syamsuddin al Samatrani pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda. Aliran Syi'ah di kesultanan
Aceh itu pun kemudian dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi'i yang dipimpin oleh Syaikh Nurrudin Ar-Raniri. Nurruddin adalah seorang ahli sunnah asal Gujarat yang mukim di Aceh sepeninggal sultan Iskandar Muda. Kitab-kitab ajaran tasawuf wujudiah (ajaran emanasi) yang berkonsep "saya adalah Tuhan" (ana al-haqq), dimusnahkan dengan cara dibakar.

Syafi'i di Malaka
Berkat perkawinan putri sultan Zainul Abidin Bahian Syah dari Samudera/Pasai dengan sultan pertama Malaka Parameswara, aliran Syafi'i berkembang pesat di pantai barat Semenanjung. Parameswara ikut aliran Syafi'i dan berganti nama menjadi Megat Iskandar Syah pada 1414. Parameswara adalah pangeran terakhir dari kerajaan Sriwijaya yang dulunya beragama Budha.
Syi'ah vs Wahabi di Minangkabau
Aliran Syi'ah menjalar dari Aceh ke daerah Minangkabau, yang persebarannya dimulai sejak 1128. Pada waktu itu, laksamana Nazimudin Al-Kamil mengadakan gerakan militer dari pantai Aceh ke sungai Kampar Kanan dan Kiri, untuk
menguasai hasil lada di daerah tersebut. Nazimudin gugur saat ekspedisi pada 1128. Daerah sungai Kampar dikuasai oleh pedagang-pedagang asing yang menganut aliran Syi'ah, dan disokong oleh dinasti Fathimiah di Mesir. Mereka ingin memonopoli hasil lada. Hasil lada itu diangkut ke bandar Perlak, terus dibawa ke pasaran Gujarat. Pada 1513, Tuanku Burhanudin Syah di Pariaman yang dikuasai Aceh, mulai mengislamkan daerah Minangkabau secara intensif. Burhanudin adalah putra sultan Syamsul Syah dari Mahkota Alam, yang ikut mendirikan kesultanan Aceh. Para tokoh setempat dididik menjadi ulama yang kemudian akan menyebarkan ajaran Syi'ah di antara penduduk Minangkabau. Para pengajar
didatangkan dari Kambayat, Gujarat. Pengawasan terhadap pendidikan ulama di Pariaman, sampai 1697, dilakukan oleh Tuanku Burhanudin Syah turun temurun. Sementara sebagian tidak senang dengan pengislaman yang dilakukan
Tuanku Burhanudin Syah. Pada 1803, tiga tokoh beraliran Wahabi bermazhab Hambali, Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin, membentuk gerakan pembersihan agama.Gerakan mereka disponsori oleh Abdullah ibn Saud di Riyadh. Sebagai catatan,ketiga haji tersebut pernah menjadi tentara di Turki. Timbullah ketegangan antara golongan kaum adat yang menganut aliran Syi'ah dan para pengikut gerakan Wahabi. Akhirnya mereka berhasil membasmi kaum Syi'ah di Minangkabau, nyaris tak tersisa. Di Irak, pada 1801, gerakan Wahabi juga sibuk memberantas kaum Syi'ah, dan berhasil merebut Karbala.Masjid-masjid Syi'ah dan makam-makam keturunan Hasan Husein, cucu Nabi Muhammad, dibumihanguskan. Pada 1802, tentara Wahabi di bawah pimpinan Abdullah ibn Saud, putra Abdul Aziz ib Saud, berhasil
merebut kota Makah dan Madinah, serta mengusir tentara Turki dari jazirah Arab. Karena pembebasan kota Makah dan Madinah dari kekuasaan Turki yang beraliran Hanafi itu, maka gerakan Wahabi menjadi terkenal di dunia internasional.Ketiga haji asal Minangkabau yang ikut dalam pasukan Turki yang menduduki Makah dan Madinah, ditangkap kelompok Wahabi. Karena mereka adalah orang asing, bukan orang Turki, mereka tidak dibunuh. Ketiga orang tersebut segera diindoktrinasi dalam gerakan Wahabi, lalu melepas aliran Hanafi-nya. Sekembalinya dari Makah pada 1803, mereka membentuk gerakan Wahabi di Minangkabau.Timbullah ketegangan antara golongan kaum adat yang menganut aliran Syi'ah dan para pengikut gerakan Wahabi. Puncaknya, meletuslah Perang Padri. Akhirnya mereka berhasil membasmi kaum Syi'ah di Minangkabau, nyaristak tersisa. Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.Di Pulau Jawa, aliran Syi'ah mulai mendapat pasaran sejak berdirinya kesultanan Pajang pada pertengahan abad-16 di Jawa Tengah. Sebagai sultan pertama adalah Joko Tingkir (Sultan Hadiwijoyo). Wali Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang adalah penganjur utamanya. Akibat ajarannya Syaikh Siti Jenar dibakar hidup-hidup oleh para wali lainnya. Syi'ah juga dipandang 'mbalelo' karena tak mengakui keimanan dinasti
Abasiyah dan Umayah yang aliran Sunni. Sementara usaha untuk memperluas aliran Syafi'i di pulau Jawa sampai akhir
abad ke-15 tidak berhasil. Syaikh Maulana Ishak ditugaskan ke pulau Jawa. Ia singgah di Ngampel Denta dan bertemu dengan Sunan Ngampel.Dalam Serat Kanda dinyatakan dengan jelas bahwa Syaikh Ishak mendapat tugas untuk mengislamkan wilayah Blambangan, namun usaha itu tidak berhasil. Kemudian, ia kembali ke Malaka. Menurut Serat Kanda, Syaikh Ishak adalah paman Raden Rahmat alias Sunan Ngampel. Sedangkan Sunan Ngampel adalah pendatang dari Campa, putra Bong Tak Keng, dan aliranyang diikutinya ialah Hanafi.

Hanafi di Pulau Jawa
Islam aliran Hanafi berkembang di kesultanan Demak. Pada 1526, sultan Demak mengirim armada untuk menyerang Sembung (Cirebon) dan Sunda Kelapa (kini Jakarta). Armada Demak dipimpin oleh Fatahillah (Falatehan). Kin San alias Raden Kusen yang berusia 71 tahun ditunjuk sebagai jurubahasa.
Karena agama Islam di pantai utara Jawa adalah aliran Hanafi, maka agama Islam itu tidak disebarkan melalui Selat Malaka dan rembesan dari Sumatra,baik menurut jalur pelayaran lama maupun baru. Penyambungnya adalah orang-orang Tionghoa, bukan langsung dari Turkestan, Bokhara dan Samarkand, dimana titik awal aliran Hanafi berkembang luas.
Kesimpulan:
- Islam yang masuk ke Indonesia pada awalnya adalah dari berbagai macam aliran, bukan satu aliran saja.
- Masuknya Islam ke Indonesia tidak semuanya dengan jalan damai, tapi melalui perebutan kekuasaan dan perang. Hal ini akibat keterkaitan yang erat dengan gerakan Islam politik.
- Walau sesama pemeluk Islam, namun karena berbeda aliran, bisa saling menjatuhkan dengan menghalalkan segala cara.
- Munculnya kesultanan-kesultanan Islam di wilayah Nusantara disponsori oleh kekuatan asing di Timur Tengah dan Turki, serta peran serta komunitas China muslim yang sudah lama mukim di Nusantara. Kini mayoritas masyarakat Indonesia memeluk Islam beraliran Sunni, dimana aliran lain tidak bisa berkembang dengan baik.
Sumber:
Sebagian dicuplik dari buku "Runtuhnya Kerajaan Hindu dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara" karya Prof. Dr. Slamet Muljana
(penerbit LKis, Yogyakarta)


Polly po-cket