Polly po-cket

Ureung Inong & Desain Tradisi
(Sebuah Refleksi Hari Adat Sedunia)
Oleh: Sanusi M. Syarif | Pemerhati Kehidupan Gampong
Dulu, apabila ada anak gadis (aneuk dara) sedang duduk di panteu, maka anak laki-laki dewasa (yang bukan muhrim) tabu untuk duduk di panteu yang sama



POLEMIK tentang gender di website Aceh Institute mengalir dengan begitu pantas. Tulisan pembuka bertajuk 'Ada Apa dengan Gender' telah menemukan momentumnya. Hal ini ditandai oleh munculnya beberapa artikel lain, sebagai tanggapan kritis untuk memperkaya perbincangan tentang gender.

Pada kesempatan ini, saya mencoba menulis dari perspektif yang sedikit berbeda dengan penulis sebelumnya. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau kembali sebahagian isu ureung inong (perempuan) dalam masyarakat Aceh dengan bercermin ke akar tradisi Aceh masa lalu. Kemudian, membandingkannya dengan keadaan masa sekarang. Dalam hal ini, penulis menumpukan perhatian kepada tiga aspek utama, yaitu seting ruang tradisi, peunulang (penyerahan sebagian harta untuk anak perempuan setelah ia menikah) dan peurae (pembagian harta warisan).

Ureung Inong dan Tata Ruang Tradisi
Sebelum mengulas lebih jauh, mari kita bayangkan sejenak struktur asli perumahan tradisional di kawasan gampong (kampung) di kawasan Aceh Rayeuk. Apabila kita memasuki kawasan perumahan tersebut, pertama sekali akan tampak adalah struktur bangunan rumah yang memanjang mengikuti arah kiblat dan tidak mengikut arah jalan. Kedua, bangunan rumah berbentuk panggung dan pada umumnya terdiri dari dua jenis, yaitu ada yang disebut rumoh Aceh dan rumoh santeut atau tampong limong. Rumah Aceh Rayeuk dibangun dalam jarak yang relatif rapat. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain tidak terdapat pagar permanen atau bahkan tidak ada pagar sama sekali. Kita juga akan mendapati pekarangan (leun rumoh) milik bersama. Setiap bangunan rumah biasanya terdiri dari ruang seuramo likeu (serambi depan), jure (ruang keluarga), seuramo likot (serambi belakang) dan dapue (dapur). Di bahagian bawah rumah pula terdapat sebuah tempat duduk yang disebut sebagai panteu.

Panteu, Reunyeun dan Rumoh
Panteu dibuat dari bahan bambu atau kayu dan bentuknya menyerupai meja, dengan ketinggian yang sama atau lebih rendah dari meja. Panteu berfungsi sebagai tempat duduk bagi ahli keluarga ketika waktu senggang. Panteu juga digunakan sebagai tempat istirahat sementara sebelum naik ke rumah, khususnya ketika baru pulang dari tempat kerja. Pada masa dahulu, apabila ada anak gadis (aneuk dara) sedang duduk di panteu, maka anak laki-laki dewasa (yang bukan muhrim) tabu untuk duduk di panteu yang sama. Kadang-kadang panteu juga digunakan untuk menerima tamu yang tidak mungkin di ajak ke rumah. Panteu di bawah rumoh Aceh yang berlantai tinggi terasa lebih nyaman dibandingkan dengan panteu di bawah rumoh santeut yang berlantai lebih rendah.

Reunyeun bagi rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke bangunan rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. khususnya apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka 'pantang dan tabu' bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kawalan sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antara warga gampong.

Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan warga gampong. Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.

Deyah dan Kantor PKK
Di beberapa daerah di Aceh, setiap gampong terdapat sebuah 'deyah' atau bangunan khusus untuk perempuan. Kaum perempuan menggunakan bangunan deyah sebagai tempat pertemuan, tempat belajar dan juga tempat beribadah. Sepengetahuan penulis, setiap tradisi di Aceh Selatan misalnya, pada umumnya mempunyai sebuah deyah. Istilah deyah atau dèah berasal dari bahasa Arab “zawiyah”. Menurut pengamatan Snouck Hugronje (1985, 71), pada abad ke-19 gampong-gampong di Aceh Rayeuk memiliki sebuah bangunan dèah yang berfungsi sebagai tempat belajar agama. Dengan demikian dèah mempunyai dua pengertian, pertama sebagai tempat belajar khusus untuk kaum perempuan, kedua sebagai tempat belajar agama umumnya. Untuk maksud kedua, sekarang ini lazim disebut dengan 'dayah' atau pesantren.

Dèah, merupakan warisan peradaban Aceh untuk memajukan perempuan dalam bidang pendidikan, kepemimpinan dan juga keagamaan. Hal ini terbukti dari kegiatan-kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Sebagai contoh, pada hari tertentu, paling kurang seminggu sekali para perempuan berkumpul untuk belajar mengaji atau pengetahuan agama. Hal seperti ini pernah penulis amati di kampung Panton Luas – Sawang Aceh Selatan pada 1999. Pada hari jum’at pula, setelah kaum lelaki selesai menjalankan shalat Jum’at, para perempuan mendirikan shalat zuhur berjamaah sesama mereka dan yang menjadi imam juga dari kalangan perempuan. Melalui kedua kegiatan ini, kaum perempuan memiki ruang dan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan memimpin.

Melalui dèah pula muncul pemimpin-pemimpin ureung inong secara alamiah. Para pemimpin tersebut biasanya lebih berdasarkan kepada senioritas dalam pengetahuan, pengalaman dan kemampuan memimpin.

Kemudian, ketika datang era pembangunan, pemerintah lalu memperkenalkan program PKK kepada kaum perempuan di gampong-gampong. Melalui program ini, berbagai kegiatan dijalankan, akan tetapi yang dominan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urusan masak-memasak, jahit-menjahit dan sebagainya. Akibatnya, lama-kelamaan perhatian terhadap tradisi yang bertumpu kepada dèah semakin terabaikan. Dèah- dèah mulai ditinggalkan kaum perempuan. Sehingga beberapa dèah seakan-akan berubah seperti rumah tanpa pemilik. Entah karena risau dengan perkembangan dèah, atau sudah jemu dengan urusan masak-memasak ala ibu PKK, istilah PKK kemudian dimaknai sebagai 'Panci Kuali dan Kanot'. Sebuah makna yang jauh dari makna aslinya: Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Selain itu, dalam organisasi PKK, isteri kepala desa otomatis menjadi pemimpin, tanpa memberi ruang kepada kaum perempuan lain. Keadaan ini berbeda jauh dengan konsep kepemimpinan di dèah yang mengedepankan kemampuan dan pengetahuan seseorang sebagai asas untuk menjadi pemimpin.

Ruang Ekonomi dan Perempuan
Hingga awal 1970-an, di Aceh Rayeuk terdapat banyak sekali tanah-tanah dan perairan komunal sebagai sumber kehidupan bagi warga gampong setempat. Tanah-tanah komunal tersebut antarannya seperti kawasan padang meurabe (padang rumput), bueng atau paya, krueng (sungai) dan lancang sira (ladang garam). Keempat kawasan komunal tersebut memberikan kemudahan untuk kaum perempuan dalam mencari nafkah atau memenuhi keperluan keluarganya. Kawasan padang meurabe merupakan sumber utama perempuan di kawasan pedalaman untuk mendapatkan kayu bakar. Bueng atau paya menyediakan fungsi hidrologis bagi kampung-kampung sekitarnya, khususnya di dataran tinggi Aceh Rayeuk. Kelestarian bueng menjamin ketersediaan permukaan air sumur tetap tinggi. Kawasan krueng, khususnya di kawasan hutan mangrove di kawasan pesisir merupakan tempat perempuan mencari nafkah, seperti meutirom (mengumpulkan tiram), meukruep (menangkap ikan atau udang dengan tangan) dan sebagainya. Terakhir, lancang sira sebagai tempat perempuan membuat garam di musim kemarau.

Sejalan dengan arus pembangunan, permintaan terhadap tanah semakin meningkat. Tanah-tanah dan kawasan perairan yang dulunya merupakan milik bersama bertukar fungsi dan pemilikan. Padang meurabe sebagian menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), sebagian lagi berubah menjadi milik pribadi. Akibatnya, perempuan harus pergi lebih jauh untuk mengumpulkan kayu bakar. Kawasan bueng banyak yang telah ditimbun dan dirubah fungsinya. Akibatnya, permukaan air sumur di kawasan sekitarnya menjadi lebih dalam dan perempuan harus menghabiskan lebih banyak kalori untuk menimba air. Kemudian, pada musim kemarau kaum perempuan harus berjalan lebih jauh ke sungai atau ke sumur tetangga yang belum kering, untuk mendapatkan air bagi keperluan keluarganya.

Meningkatnya keperluan tanah untuk pembuatan neuheun (tambak) menyebabkan sebahagian pengusaha menyerobot kawasan perairan (krueng) milik bersama. Hal seperti ini terjadi di Mukim Lampageu, Lamteungoh dan di kawasan Krueng Lingke-Tibang. Akibatnya, semakin menyempitnya ruang bagi ureung inong untuk mengumpulkan tiram atau menangkap udang. Hal yang sama juga terjadi pada kawasan-kawasan lancang sira komunal di Aceh Rayeuk. Bahkan, penggusuran lancang sira komunal berlangsung lebih dahsyat. Tanah-tanah lancang sira komunal telah berubah fungsi menjadi tambak dan berada di bawah penguasaan/pemilikan pribadi. Padahal, hingga awal 1970-an, di pesisir Aceh Rayeuk masih banyak terdapat lancang sira komunal milik gampong. Akibatnya, banyak kaum perempuan kehilangan lapangan kerja, khususnya di musim kemarau, ketika produksi garam cukup tinggi. Dalam hal ini beruntunglah kaum perempuan di Mukim Lampanah, karena para pemimpin mereka telah bersepakat untuk mempertahankan lancang sira sebagai milik komunal yang dimanfaatkan sepenuhnya oleh kaum perempuan.

Peunulang
Peunulang merupakan pemberian dari orang tua untuk aneuk inong yang sudah menikah dan terpisah dengan harta warisan. Pemberian tersebut biasanya dalam bentuk rumah beserta tanahnya, sepetak tanah sawah dan sejumlah ternak. Jumlah atau peunulang sangat tergantung kepada kemampuan orang tua si perempuan. Tujuan peunulang adalah untuk memastikan aneuk inong memiliki bekal minimal untuk memulai hidup berumah tangga. Dan yang lebih penting lagi, apabila terjadi sesuatu terhadap suaminya, seperti meninggal dunia si perempuan telah memiliki rumah sendiri yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun. Bahkan dalam bentuk yang paling ekstrem, walaupun tidak diharapkan, apabila terjadi perceraian, maka yang turun dari rumah adalah suami (lelaki) dan bukan isteri (aneuk inong). Karena istri adalah pemilik rumoh (ureung po rumoh).

Penyerahan peunulang biasanya dilakukan melalui sebuah upacara yang diadakan oleh orang tua si istri. Dalam upacara tersebut diundang keuchik gampong, teungku meunasah dan anggota tuha peut untuk menyaksikan prosesi peunulang. Pada kesempatan itu, orang tua pihak perempuan atau yang mewakili menyatakan bahawa ia telah melepaskan anak perempuannya dengan memberikan sejumlah peunulang dan menyebutkannya satu persatu apa-apa yang dijadikan peunulang untuk anaknya tersebut (Hugronje 1985, 408).

Menurut sejarah, Sulthanah Sri Safiatuddin merupakan salah seorang peletak dasar untuk meningkatkan peranan perempuan dan pengukuhan adat peunulang berlangsung pada masa beliau berkuasa. Pada masa itu, beliau memberlakukan adat agar orang tua memberikan peunulang kepada dari setiap anak perempuan yang sudah menikah. Selain itu, juga menetapkan bahwa harta bersama yang diperoleh dari suami istri yang bercerai mesti dibagi dua atau dibagi sama antara suami-istri (Ali Hasymi 1977,121-126). Peunulang tersebut biasanya dalam bentuk rumah, tanah sawah (umong), batang kelapa, alat-alat dapur atau ternak. Besar atau banyaknya jenis peunulang tergantung kepada kemampuan orang tua.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa, penerapan suatu tradisi atau nilai-nilai positif memerlukan dukungan kekuasaan (baca negara). Dengan demikian dapat terwujud kepastian dan ketertiban hukum. Tanpa dukungan kekuasaan, kedudukan tradisi yang memberihan hak-hak istimewa kepada perempuan seperti peunulang tidak akan eksis. Dalam hal ini, pada tingkat mikro tradisi peunulang di gampong-gampong di Aceh Rayeuk misalnya dilindungi oleh kekuasaan (baca: adat) gampong. Dengan adanya perlindungan gampong, maka kelestarian tradisi peunulang tetap terpelihara hingga sekarang. Selain itu, karena penulang telah menjadi nilai-nilai yang diterima umum dalam masyarakat gampong, maka pihak anak lelaki dari sebuah keluarga tidak pernah menggugat peunulang dan tidak memperhitungkannya sebagai bahagian daripada harta warisan. Bahkan, penulis mendapati banyak anak lelaki di Aceh Rayeuk yang berusaha membantu orang tuanya, agar saudara perempuannya yang sudah menikah dapat segera dibuatkan rumah, sesuai dengan kemampuan keluarga. Bantuan serupa ada kalanya juga diberikan oleh saudara dekat lainnya.

Sebaliknya, di beberapa daerah, seperti di Aceh Selatan atau Aceh Barat Daya, tradisi peunulang sudah hampir hilang dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak mustahil tradisi peunulang juga menghadapi tantangan berat di beberapa kawasan di Aceh Rayeuk. Hal ini berhubungan erat dengan terputusnya akses langsung masyarakat terhadap hutan, sebagai akibat diteruskannya kebijakan negara yang mengambil alih kuasa gampong dan mukim atas kawasan hutan-rimba di Aceh Besar. Padahal, penetapan batas kuasa mukim dan gampong atas kawasan hutan merupakan strategi kolonial Belanda untuk menguasai tanah seluas luasnya di Aceh pada masa dahulu, dengan cara membangun tanda-tanda sempadan hutan. Tanda sempadan tersebut dikenali sebagai jalan “bosch wezen” atau jalan hutan dan dibangun sekitar 1910-an, setelah berkurangnya serangan gerilya terhadap tentera Belanda. Tantangan lain adalah munculnya kebijakan moratorium logging yang belum memiliki alternatif pemecahan masalah yang jitu, untuk mengatasi kekurangan pasokan kayu di Aceh.

Peurae dan Aneuk Inong
Fakta lain adalah pengalaman penulis sendiri ketika mengamati proses 'peurae' atau membagi harta warisan dari sebuah keluarga di sebuah Gampong di Mukim Alue Paku, Aceh Selatan pada akhir tahun 1980-an. Ketika pembahagian harta dilakukan, anak lelaki lebih memilih umong (sawah) menjadi bagian untuk anak perempuan. Sementara bahagian kebun dibagi bersama antara anak lelaki dan perempuan. Pada pertengahan 1990-an, penulis juga ikut terlibat dalam proses 'peurae' (sebagai saksi), pihak anak lelaki memutuskan tidak menerima bahagian tanah rumah dan pekarangan, akan tetapi semuanya dibagi untuk anak perempuan. Dalam hal ini, khusus anak perempuan bungsu mendapatkan rumah (rumah asal) dan tanah pekarangannya dengan luas hampir tiga kali lipat dari anak perempuan yang lain.

Perbedaan pembagian tersebut sekilas tidak adil, karena antara sesama anak perempuan semestinya berhak atas luas yang sama. Namun dalam kasus tersebut, anak bungsu merupakan anak yang tinggal di rumah bersama kedua orang tua mereka. Dia pula yang selama bertahun-tahun bersusah payah merawat kedua orang tua mereka yang uzur dan sakit-sakitan. Atas dasar itu, semua anak perempuan lebih memilih untuk menyerahkan rumah asal (rumah keluarga) kepada anak perempuan bungsu beserta tanah pekarangannya.

Fakta lain (awal tahun 2000-an), dari sebuah keluarga lain pula, terjadi kasus yang cukup tragis. Dalam proses pembagian harta pusaka, rumah orang tua bukannya diberikan untuk anak bungsu yang merawat kedua orang tua di hari tua mereka, akan tetapi dijual. Padahal anak perempuan bungsu tersebut belum punya rumah dan masih ada tanah dan harta warisan lain yang masih boleh dibagi. Kejadian ini justru bukan saja dilakukan oleh anak lelaki dalam keluarga tersebut, akan tetapi didukung juga oleh para kakak mereka yang perempuan.

Dalam kasus terakhir tersebut, pimpinan gampong justru tidak membela kedudukan dan hak anak perempuan bungsu terhadap rumah peninggalan tersebut. Padahal, mengikut adat gampong berhak bertindak untuk membela hak anak perempuan tersebut. Satu-satunya pembelaan datang daripada keluarga dekat, namun ternyata tak berpengaruh terhadap keputusan saudara-saudari anak perempuan bungsu tersebut. Terlebih lagi, keuchik gampong (karena keterbatasan pengalaman) telah bertindak untuk meluluskan tindakan jual beli rumah tersebut.

Untuk menghindari kejadian seperti contoh terakhir, pada masa dahulu (sebelum kolonial) pihak uleebalang atau keujruen berhak ikut campur dalam proses 'peurae', khususnya apabila harta warisan yang dibagi tersebut dalam jumlah banyak dan terjadi keadaan sebagai berikut: (a) Apabila 'peurae' tersebut tersangkut kepentingan anak-anak yang belum dewasa. (b) Adanya salah seorang dari ahli waris yang tidak senang atau tidak menerima keputusan yang diambil. (c) Peninggalan itu sukar dipertanggung jawabkan oleh ahli waris (Nasruddin 1992, 127).

Atas peranannya dalam proses peurae, uleebalang atau keujruen berhak mendapatkan hak peurae sejumlah persentase tertentu dari nilai harta warisan. Namun, dalam perkembangannya kemudian, pada masa kolonial Belanda hak uleebalang kalau melakukan peurae telah mencapai 10 persen dari nilai harta warisan. Oleh sebab itu, kolonial Belanda menurutkan hak ulee balang dalam proses peurae menjadi 5 % dari nilai harta warisan.

Dalam proses peurae tersebut uleebalang dibantu oleh keuchik, teungku meunasah dan qadhi. Bahagian hak uleebalang sebesar 10% atau 5% tersebut juga dibagi untuk keuchik, teungku meunasah dan qadhi, sesuai kepatutan. Sebaliknya apabila proses peurae yang dapat dilakukan secara damai atau mampu dilakukan sendiri oleh keluarga dekat atau ahli waris yang bersangkutan, tidak diperlukan adanya biaya peurae (Nasruddin et al. 1992, 127-128). Namun begitu, selepas peurae, pihak keluarga ahli waris perlu menyampaikan kepada pimpinan gampong, agar apabila terjadi perselisihan di kemudian hari, pihak pimpinan gampong mengetahui duduk perkaranya. Biasanya, ketika melakukan peurae pihak ahli waris mengadakan kenduri ala kadar dan mengundang keuchik, teungku meunasah dan ureung tuha gampong (tuha peut) sebagai saksi. Dalam perkembangannya kemudian, sejalan dengan perkembangan zaman proses peurae disertai pula dengan pembuatan surat pembagian harta bermeterei atau akte notaris.

Penutup
Contoh-contoh di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan keluarga dan pimpinan gampong dalam memelihara dan melindungi nilai-nilai tradisi yang menghargai dan melindungi kepentingan anak perempuan. Peranan keluarga yang terpenting adalah pendidikan dalam keluarga demi menanamkan nilai-nilai solidaritas bersama dan kesetiaan sesama anak. Peranan gampong juga dapat diarahkan kepada penguatan adat setempat dengan menumpukan perhatian kepada perlindungan dan pelestarian tradisi yang positif untuk warganya, tanpa memandang perbedaan usia, kelas sosial dan keadaan fisik. Namun demikian, pelestarian tradisi ini akan lebih kokoh lagi apabila ada dukungan dari kekuasaan yang lebih tinggi, seperti dari pihak pemerintah kabupaten atau pemerintah Aceh. Sekarang terpulang kepada kita semua, 'adakah kita prihatin' dengan saudara perempuan kita? (SmS)
Istilah Aceh Rayeuk merujuk kepada wilayah Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sekarang ini.
Referensi
Ali Hasymi. 1977. 59 tahun Aceh merdeka di bawah pemerintahan ratu. Jakarta. Bulan bintang.

Hugronje, Snouck. 1985. Aceh dimata kolonialis. Jilid I. Terj. Singarimbun, Ng., Maimoen,S & Kustiniyati Muchtar. Jakarta: Yayasan Soko Guru.

Nasruddin Sulaiman, Rusdi Sufi & Tuanku Abdul Jalil. 1992. Aceh: manusia masyarakat dan budaya. Edisi I. Banda Aceh. PDIA.

Sanusi M. Syarif. 2003. Riwang u laot: leun pukat dan panglima laot dalam kehidupan nelayan Aceh. Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu.
________________________________________

Hak Cipta Terlindungi © Copyrights by The Aceh Institute - 2007 | Silahkan mengutip, mengacu, mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan isi website ini dengan menyebutkan nama penulis asli dan "Aceh Institute" sebagai sumbernya dengan link www.acehinstitute.org

Artikel kamis 09 agustus 2007