Insane

MENGULUR-ULUR MANDI JUNUB TANPA ALASAN

Junub menghalangi seorang muslim melakukan beberapa ibadah. Ini membuat amaliyah ibadahnya terhenti selama dia junub. Di samping seorang muslim dianjurkan senantiasa dalam keadaan suci. Dari sini maka hendaknya seorang junub bersegera mengangkat hadats akbarnya. Jika berhalangan maka hendaknya dia berwudhu.
Nabi saw bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تَقْرَبُهُمُ الْمَلاَئِكَةُ : جِيْفَةُ الْكَافِرِ ، وَالمُتَضَمِّخُ بِالخَلُوْقِ ، وَالجُنُبُ إِلاَّ أَنْ يَتَوَضَأ.

“Tiga orang yang tidak didekati oleh malaikat: bangkai orang kafir, orang yang berlumuran minyak wangi khaluq dan orang junub kecuali jika dia berwudhu.” (HR. Abu Dawud, al-Albani berkata, “Hasan lighoirihi.”).

Al-Hafizh berkata, “Yang dimaksud dengan malaikat di sini adalah yang turun membawa rahmat dan barokah bukan bukan malaikat hafazhah(yang mengawasi) karena mereka selalu bersamanya dalam kondisi apapun.” Kemudian dikatakan, Ini berlaku bagi orang yang menunda mandi (junub) tanpa alasan atau adanya alasan sehingga (seharusnya) dia berwudhu tetapi dia tidak berwudhu.” Dikatakan pula, “Dia adalah orang yang menunda mandi (junub) karena malas dan menyepelekan, serta menjadikannya sebagai kebiasaan. Wallahu a'lam.

Oleh karena itu salah satu sunnah nabi adalah berwudhu jika beliau hendak menunda mandi. Aisyah berkata, “Jika Rasulullah hendak tidur sementara beliau junub, beliau membasuh kelaminnya dan berwudhu dengan wudhu untuk shalat.” (HR. Muslim).

Suami istri menolak mandi junub berdua

Padahal ini dilakukan oleh Rasulullah saw bersama sebagain istrinya. Ummu Salamah berkata, “Aku mandi junub bersama Rasulullah saw dari satu bejana.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Aisyah berkata, “Aku mandi junub bersama Rasulullah saw dari satu bejana. Tangan kami saling bergantian mengambil air darinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim, “Dari satu bejana antara diriku dengan dirinya, lalu beliau mendahuluiku sehingga aku berkata, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku’.”

Meyakini harus kencing sebelum mandi junub

Dengan alasan sisa mani yang ada dalam saluran tidak akan keluar tanpa didorong oleh kencing. Jadi dia mandi sementara air maninya belum keluar dengan tuntas maka mandinya tidak sah. Ini keliru, alasan yang mengada-ada, tidak berdasar karena dalam hadits-hadits tentang mandi junub, Rasulullah saw tidak mengharuskan kencing sebelum mandi.

Lajnah Daimah dalam fatwa no. 2550 berkata, “Mandinya shahih, walaupun sebelumnya tidak kencing. Jika setelah itu dia kencing lalu sisa air mani keluar sendiri atau bersama kencing tanpa syahwat maka dia tidak wajib mandi lagi, cukup istinja’ dan wudhu.”

Mengharuskan mengumpulkan rambut rontok atau kuku yang dipotong pada saat junub dan pada saat mandi rambut dan kuku tersebut harus dicuci

Tidak berdasar, karena dalam hadits-hadits tentang mandi junub Nabi saw tidak menyebutkannya dan Allah tidak lupa. Di samping itu junub terkait dengan badan saja tidak termasuk kuku dan rambut seperti najisnya bangkai hanya terkait dengan tubuh tidak termasuk kuku dan rambut. Wallahu a'lam.

Tidak berwudhu sebelum mandi junub

Ini tidak sesuai dengan cara mandi Rasulullah saw. Aisyah berkata, “Apabila Rasulullah saw mandi junub, beliau membasuh kedua tangannya tiga kali dan berwudhu dengan wudhu untuk shalat…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Seandainya dia mandi tanpa berwudhu terlebih dahulu mandinya tetap sah, akan tetapi mengikuti Rasulullah saw adalah lebih baik.

Mengharuskan membuka ikatan rambut bagi wanita untuk mandi

Tidak wajib dan tidak harus berdasarkan hadits Ummu Salamah berkata, “Ya Rasulullah, aku mengikat gulungan rambutku, apakah aku harus membukanya untuk mandi haid dan junub?” Nabi saw menjawab, “Tidak, cukup bagimu mengguyurkan air tiga kali ke kepalamu kemudian meratakan air ke seluruh tubuhmu maka kamu pun suci.” (HR. Muslim).

Mengharuskan mengusap tangan sampai siku dalam tayamum

Yang shahih adalah cukup sampai pergelangan tangan saja, berdasarkan firman Allah, “Sapulah wajah dan tanganmu.” (Al-Maidah: 6).
Seandainya mengusap pada tayamum sampai siku niscaya ayatnya akan menyatakan demikian seperti dalam ayat yang sama tentang wudhu, dan tayamum tidak bisa dikiyaskan kepada wudhu karena adanya perbedaan di antara keduanya di mana wudhu membasuh sementara tayamum mengusap, di samping itu kata يد (tangan) dalam bahasa Arab berarti tangan sampai pergelangan saja.
Nabi saw bersabda kepada Ammar bin Yasir,

إِنََمَا كَانَ يَكـْفِيْكَ أَنْ تَضْرِبَ بِيَدَيْكَ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ تَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ .

“Semestinya cukup bagimu memukul tanah dengan kedua tanganmu satu kali kemudian kamu mengusap dengan keduanya wajah dan kedua telapak tanganmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Mengharuskan memukul tanah dua kali

Ini tidak sejalan dengan hadits Ammar di atas. Ibnul Qayyim di Zadul Maad 1/192 berkata, “Nabi saw bertayamum dengan satu kali pukulan (ke tanah) untuk wajah dan kedua telapak tangan. Tidak shahih darinya bahwa beliau bertayamum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap sampai ke kedua siku. Imam Ahmad berkata, ‘Barangsiapa berkata bahwa tayamum sampai siku maka ia adalah sesuatu yang dia tambah dari dirinya.”
Adapun hadits,

التَيَمُّمُ ضَرْبَتَان ، ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلىَ المِرْفَقَيْنِ .

“Tayamum dua kali pukulan, satu untuk wajah satu untuk kedua tangan sampai kedua siku.” (HR. ad-Daruquthni).

Maka ia adalah hadits mauquf kepada Ibnu Umar. Hafizh Ibnu Hajar di Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkannya mauquf.” Jadi ia tidak mungkin dipertentangkan dengan hadits Ammar yang shahih.

Mengharuskan mengulang shalat yang dilakukan dengan tayamum di mana setelahnya dia mendapatkan air dan waktu shalat masih ada

Asal-usul masalah ini adalah hadits Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa`i, “Dua orang laki-laki melakukan perjalanan, waktu shalat tiba sementara keduanya tidak memiliki air maka kedua bertayamum dengan debu yang suci dan shalat, kemudian keduanya mendapatkan air ketika waktu shalat masih tersisa, maka salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulang shalatnya sementara yang lain tidak, kemudian keduanya datang kepada Rasulullah saw dan menyampaikan itu kepada beliau. Nabi saw bersabda kepada yang tidak mengulang, “Kamu mendapatkan sunnah dan shalatmu sah.” Dan beliau bersabda kepada yang lain, “Untukmu pahala dua kali.”
Sebagian orang keliru memahami sabda Nabi saw, “Untukmu pahala dua kali.” Bahwa orang kedua ini benar. Dua pahala itu adalah untuk dua kali shalatnya, tidak begitu. Ibnu Utsaimin di asy-Syarh al-Mumthi’ berkata, “Pahala dua kali untuk shalatnya yang pertama dan untuk ijtihadnya mengulang shalat yang keliru tersebut.”

(Rujukan: Zadul Maad Ibnul Qayyim, Fatawa Lajnah Daimah, Bulughul Maram Ibnu Hajar, Shahih at-Targhib wat Tarhib al-Albani).